Yogyakarta — Kota Jogja memiliki tata kota, tata letak yang tidak hanya menarik dari sisi fisik, tetapi juga menyimpan nilai universal kehidupan yaitu sumbu filosofi. Tata kota penuh makna ini merupakan karya Sri Sultan HB I. Saat ini sumbu tersebut sedang diajukan menjadi warisan budaya dunia ke UNESCO. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.
Pendiri sekaligus raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang memerintah pada 1755–1792, Sri Sultan HB I memiliki pemikiran yang visioner. Tata kota yang diciptakannya masih relevan hingga hingga saat ini. Selain itu menjadi satu-satunya tata kota di dunia yang memiliki nilai universal kehidupan.
“HB I menciptakan tata kelola, tata letak, tata kota yang sangat luar biasa yang kita kenal dengan sumbu filosofi. Ini sangat luar biasa karena pada masa itu tata letak kota sudah dipikirkan dan sampai saat ini karya itu masih layak untuk dipertahankan,” kata Plt Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho, Rabu (16/6/2021).
Berkaitan dengan nilai universal yang sudah dikaji oleh Disbud DIY, ada empat hal yang membuat DIY percaya diri bisa masuk menjadi warisan budaya dunia. Pertama, representasi dari karya jenius kreativitas manusia. Kedua, pertukaran nilai kemanusiaan yang penting dari waktu ke waktu. Ketiga, memberikan kesaksian yang unik dan luar biasa terhadap tradisi atau peradaban. Keempat, peristiwa tradisi yang hidup dengan ide atau keyakinan dengan karya seni dan sastra memiliki universal luar biasa.
“Empat kriteria ini yang menjadi dasar kami menyiapkan Jogja sebagai warisan budaya dunia. Kebetulan tahun ini sudah ada UPT yang menangani secara khusus terhadap semua kegiatan baik itu benda maupun tak benda di Jogja,” ujarnya.
Perjalanan nilai universal kehidupan itu bisa dimulai dari ujung sumbu filosofi, Panggung Krapyak yang menjadi penanda pertama dari isi warisan dunia yang diajukan ke Unesco. Panggung Krapyak dengan segala keberadaan dan nilai pentingnya akan menjadi bagian informasi penting yang akan disosialisasikan kepada masyarakat. Tidak hanya bangunan fisiknya tetapi nilai makna serta refleksi dan urgensinya untuk masyarakat.
“Konsep-konsep sumbu filosofi yang sarat dengan nilai kehidupan ini tidak ditemui di negara mana pun. Kami di tim sudah melakukan studi komparasi di hampir 50 negara, tidak menemukan. Negara seperti Prancis, China memang memiliki tema dan sumbu-sumbu tetapi yang bertema seperti siklus kehidupan, baru ada di Jogja,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi, Dian Lakshmi Pratiwi.
Selengkapnya baca HarianJogja