Sebenarnya bagaimana sejarah Alun-alun Utara yang ada di kawasan Keraton Yogyakarta. Dikutip dari kratonjogja.id, Jumat (15/4/2022), keberadaan alun-alun dalam ruang lingkup kerajaan selalu dipertahankan sejak zaman Majapahit. Alun-alun menjadi manifestasi ruang publik, menjadi bagian tak terpisahkan dari tata ruang ibu kota kerajaan. Konsep ini kemudian diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia, di mana sebuah ruang terbuka disediakan tepat di depan pusat pemerintahan.
Pangeran Mangkubumi, pendiri Kasultanan Yogyakarta yang mahir dalam ilmu filsafat maupun arsitektur kemudian mewarnai struktur tata ruang Kasultanan Yogyakarta dengan simbol-simbol penuh makna.
Keraton Yogyakarta maupun bangunan-bangunan pendukungnya ditempatkan pada sebuah rangkaian pola yang didasarkan pada sumbu filosofis. Garis imajiner membentang lurus antara Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak. Termasuk di antaranya dua alun-alun, yakni Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan.
Alun-alun Utara Jogja memiliki luas 300 X 300 meter persegi. Di tengahnya berdiri dua buah beringin kurung yang diberi nama Kiai Dewadaru dna Kiai Janadaru (searang bernama Kiai Wijayadaru). Menurut Serat Salokaptra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sedangkan Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.
Selama ini, masyarakat mengenal Alun-alun Utara Jogja ini sebagai ruang publik yang terbuka untuk umum. Namun, Alut pada zaman dahulu memiliki fungsi yang berbeda. Dahulu, alun-alun ini menjadi ruang sakral dan tidak bisa sembarang dimasuki orang.
Dikutip dari pariwisata.jogjakota.go.id, Jumat, beberapa sumber menyebut permukaan alun-alun ini berupa pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan. Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritanya.
Selain itu, Alut juga diguankan untuk Tapa Pepe, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari Sultan. Biasanya, Tapa Pepe dilakukan pada siang hari di antara dua pohon beringin oleh seseorang yang sedang meminta keadilan langsung kepada Sultan.
Pada zaman dahulu, Alut ini merupakan wilayah sakral yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, seperti tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud menghormati Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Selengkapnya baca SoloPos
Baca Juga
Antara Aku dan Yogyakarta: Mulai dari Kisah Cinta Hingga Cara Hidup yang Manusiawi
7 Wisata Tersembunyi di Yogyakarta yang Layak Dijadikan Tujuan Liburanmu Berikutnya
8 Kuliner Ekstrem yang Sayang Dilewatkan Saat Kamu Bertandang ke Yogyakarta