Dewan Pengupahan Kota Yogya terpaksa membahas ulang usulan Upah Minimum Kota (UMK) 2016 yang akan disampaikan ke gubernur. Hal ini seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai acuan penetapan UMK secara nasional.
Sebelumnya, Dewan Pengupahan Kota Yogya sudah membahas secara maraton sejak Senin (19/10/2015) hingga Jumat (23/10/2015). Saat itu, penentuan usulan UMK menggunakan mekanisme lama, yakni melalui hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
“Waktu itu kan aturannya masih belum jelas karena PP tidak segera ditetapkan. Tapi hasil pembahasan sebelumnya yang berdarah-darah itu tetap kami laporkan ke walikota sebagai bentuk pertanggungjawaban Dewan Pengupahan,” papar Sekretaris Dewan Pengupahan Kota Yogya, Rihari Wulandari, Selasa (27/10/2015).
Melalui mekanisme baru, besaran usulan UMK 2016 sebenarnya sudah terbaca. Hal ini lantaran rumusnya tidak menggunakan hasil survey KHL lagi, melainkan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Yakni UMK yang berjalan tahun ini ditambah hasil perkalian antara UMK tahun ini dengan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Kalau dihitung sudah terlihat. Bahkan porsi kenaikannya lebih besar dari usulan UMK yang sebelumnya sudah kami bahas,” imbuhnya.
Sementara hasil dari penjumlahan tersebut, usulan UMK 2016 bisa mencapai Rp 1.452.287 atau naik hampir Rp 150 ribu dibanding UMK tahun ini yang mencapai Rp 1.302.500. Porsi kenaikannya cenderung lebih besar dari tahun lalu yang hanya naik Rp 129.500. Meski demikian, penetapannya akan dilakukan secara kolektif di tingkat DIY paling lambat pada 21 November 2015.
Kendati hasil KHL sudah tidak diikutkan dalam perumusan UMK, namun Dewan Pengupahan tetap akan melakukan survey KHL. Terutama sebagai bahan pembanding serta serta komunikasi antara asosiasi pengusaha dan serikat buruh. Selain itu, Dewan Pengupahan juga mendapat ketugasan tambahan untuk pembinaan pemahaman struktur dan skala upah.
Sedangkan perwakilan serikat pekerja di Dewan Pengupahan Kota Yogya, Agus Tri mengaku, kebijakan baru tersebut lebih menguntungkan pengusaha karena bisa memperkirakan gaji setiap tahun. Namun jika tingkat inflasi naik dan pertumbuhan ekonomi bagus, maka pekerja juga bisa merasakan gaji yang besar.
“Tapi tetap saja tidak proporsional karena inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditetapkan secara nasional. Bagaimana dengan daerah yang kondisi ekonominya berbeda,” urainya.
Ia mencontohkan, pekerja di Kulonprogo masih menikmati UMK yang lebih rendah. Tapi ketika bandara baru sudah terbangun, otomatis tingkat pertumbuhan ekonominya meningkat tajam. Namun jika masih mengacu pada pertumbuhan nasional, bisa bertolak belakang.
Sumber > KRJogja
Baca Juga
Antara Aku dan Yogyakarta: Mulai dari Kisah Cinta Hingga Cara Hidup yang Manusiawi
7 Wisata Tersembunyi di Yogyakarta yang Layak Dijadikan Tujuan Liburanmu Berikutnya
8 Kuliner Ekstrem yang Sayang Dilewatkan Saat Kamu Bertandang ke Yogyakarta