Hotel di Jogja Perang Tarif


Menjamurnya pembangunan hotel di Yogyakarta menyebabkan terjadi perang tarif hotel sehingga Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyarankan investor berinvestasi ke kawasan di luar Kota Yogyakarta.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Istijab Danunagoro mengatakan tahun ini terjadi penurunan tingkat hunian hotel sebanyak 10 persen hotel berbintang dan non-bintang dibanding tahun lalu. Penyebabnya, masifnya pembangunan hotel di Yogyakarta. Pada Januari-Agustus 2014, tingkat hunian hotel berbintang sebanyak 54,28 persen. Sedang, tingkat hunian hotel non-bintang 26,18 persen pada periode yang sama.

Dari data Badan Pusat Statistik itu, wisatawan asing sebanyak 120.465 orang dan wisatawan domestik 2.249.293 orang. “Tamu hotel sepi. Setiap tahun tingkat hunian turun,” kata Istijab di Hotel Grand Quality, Yogyakarta, Selasa, 21 Oktober 2014.

Menurut dia, saat ini sudah ada aturan tarif batas bawah dan batas atas hotel untuk mengatasi persaingan tak sehat. Tarif itu bergantung dari kelas hotel, misalnya hotel bintang lima tarif batas bawahnya Rp 500 ribu.

Perang tarif hotel, kata Istijab terjadi kasus per kasus. Dia mencontohkan ketika hotel sepi pengunjung, pengelola secara tertutup melakukan perjanjian dengan tamu untuk negosiasi harga.

Data PHRI menunjukkan saat ini terdapat 68 hotel berbintang dan 1.010 hotel tidak berbintang. Jumlah total kamar hotel berbintang dan tak berbintang di Yogyakarta 20.500 kamar. Padahal saat ini sudah masuk 110 izin pembangunan hotel, 70 di antaranya sudah memperoleh izin.

Investornya di antaranya merupakan pengusaha kayu dan tekstil dari Jakarta, Kalimantan, dan Pekanbaru. Sedang investor asing dari Singapura, Malaysia, Jepang, dan Cina sebanyak 10 persen. “Supaya tidak terpusat di Kota Yogyakarta, investor kami sarankan membangun hotel di kawasan wisata di sekitar Gunungkidul dan Kulon Progo,” kata Istijab.

Pemerintah daerah, kata Istijab, hendaknya menyiapkan insentif untuk pengusaha yang berinvestasi di kawasan wisata. Sebab, mereka harus berjibaku dengan lokasi pantai dan perbukitan yang infrastrukturya belum memadai. Insentif yang diberikan misalnya, kemudahan perizinan dan pembebasan pajak.

Menjamurnya pembangunan hotel di Yogyakarta menyebabkan pengelola hotel non-bintang menjerit. Pemilik Hotel Wilis, hotel non-bintang di Yogyakarta, Aryanto, mengatakan makin sulit menggaet tamu. “Kami kerap tekor karena biaya operasional tinggi,” katanya.

via tempo.co

Baca Juga

Antara Aku dan Yogyakarta: Mulai dari Kisah Cinta Hingga Cara Hidup yang Manusiawi

7 Wisata Tersembunyi di Yogyakarta yang Layak Dijadikan Tujuan Liburanmu Berikutnya

8 Kuliner Ekstrem yang Sayang Dilewatkan Saat Kamu Bertandang ke Yogyakarta