Padi Apung, Inovasi Budidaya Padi pada Lahan Tergenang dari Jogja


Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPM UMY) bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit  (GIZ) Indonesia pada tahun 2022 lalu telah melaksanakan program Pengelolaan lahan gambut dengan sistem paludikultur berbasis masyarakat di Kalimantan Timur.

“Program ini tujuannya adalah sebagai pusat pembelajaran petani melalui pembangunandemplot usaha pertanian ditengah rawa gambut, yang selanjutnya hasil dari demplot tersebut dapat menjadi model bagi pengelolaan usaha masyarakat yang ramah lingkungan di kawasan lahan gambut di Kalimantan Timur.” Ujar Dr. Ir. Gatot Supangkat, M.P., IPM., ASEAN. Eng, selaku Kepala LPM UMY menjelaskan.

Lebih lanjut Gatot Supangkat menjelaskan bahwa pelaksanaan program yang dilakukan di Desa Muhuran, Kabupaten Kutai Kertanegara dan di desa Minta, Kabupaten Kutai Barat telah dilakukan sepanjang tahun 2020 dengan berbagai riset dan ujicoba. Salah satu yang telah dikembangkan adalah budidaya padi dengan cara apung.

“Saat kami datang ke sana warga mengeluhkan gagal panen dan produksi padi yang tidak optimal. Warga memanfaatkan area rawa yang surut sebagai lahan tanam padi. Namun, lahan ini sering kali mendapat luapan air sungai Mahakam, akibatnya padi terpendam air yang mengakibatkan gagal panen. Karena itu salah satu inovasi yang kami lakukan adalah menamam padi dengan cara terapung seperti yang saat ini bisa kita lihat di Green House Faklutas Pertanian  UMY ini.” ujar Gatot Supangkat.

Menurut Gatot, sistem pertanian padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam pada lahan tergenang air. Padi apung menjadi salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk wilayah-wilayah rawan banjir atau rawa yang tergenang air. Apabila padi apung dikembangkan di lokasi lahan rawan banjir atau rawa, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani karena adanya peningkatan nilai ekonomi dari lahan tersebut. Tentunya sistem pertanian padi apung menjadi solusi untuk mengatasi dan memanfaatkan kondisi lahan rawan banjir dan rawa dengan optimal.

Sebagai bagian dari proses penelitian dan pengembagan teknologi pertanian, LPM UMY tengah melakukan ujicoba padi apung pada kolam rawa yang ada di utara Kampus UMY, Tamantirto.  Ir. Mulyono, MP selaku staf ahli penelitian yang terlibat menjelaskan bahwa padi apung yang dikembangkan menggunakan rakit dari bambu dan media tanam bekas botol yang berisi lumpur, pupuk organik yang terbuat dari bulu ayam dan kompos.

“Kalau di Kalimantan Timur kemarin, kami menggunakan pupuk organik dari bahan kotoran burung wallet, dan rumput kiambang yang diolah menjadi kompos sebagai campuran media tanam. Saat di Kalimantan Timur kami menggunakan padi jenis IR 64. Sedangkan disini kami menggunakan jenis padi rojolele.” Kata Mulyono.

Pada tanggal 4 Januari 2020 lalu, LPM UMY melakukan panen padi apung bersama Rektor UMY  Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto M.P., IPM., ASEAN. Eng, didampingi oleh Dekan Fakultas Pertanian UMY Ir. Indira Prabasari, M.P., Ph.D, Kepala LPM UMY Dr. Ir. Gatot Supangkat, M.P., IPM., ASEAN. Eng, bersama tenaga ahli dan peneliti Ir. Mulyono, MP dan Dr. Aris Slamet Widodo, SP, M.Sc.

Pada kesempatan itu, Rektor UMY menjelaskan bahwa teknologi yang dikembangkan dalam budiyaya padi apung di Kalimantan Timur maupun yang diujicobakan di Yogyakarta 100% menggunakan sumber daya lokal.

“Ini juga menjadi keuntungan tersendiri bagi kelestarian teknologi tersebut sehingga ketika tim pengabdian menarik diri, masyarakat masih tetap berdaya. Mulai dari bahan baku pembuatan alat hingga pupuk, mereka bisa dapatkan secara alami di Kalimantan Timur”. Ujar Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto M.P., IPM., ASEAN. Eng.

Menurut Gunawan, inovasi pemanfaatan rawa pada lahan gambut untuk budidaya pertanian tanpa merusak gambut ini adalah juga bagian dari implementasi SDGs dalam menuntaskan kelaparan atau menjadi bagian dari program ketahanan pangan.

“Dengan adanya pemanfaatan lahan rawa gambut sebagai media tanam padi secara terapung, besar harapannya ini mempunyai kontribusi terhadapat program SDGs dalam menuntaskan kelaparan. ”Sambungnya.

Panen padi apung di Greenhouse Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini dilakukan dihadapan para awak media, yang dilanjutkan dengan penghitungan hasil panen  dari rakit padi apung yang menghasilkan gabah sebanyak 1,9 kg.

“Pada dua kali praktek ujicoba padi apung di Kalimantan Timur menggunakan jenis padi IR 64, bisa menghasilkan gabah sejumlah 4 ton per hektare. Dalam ujicoba kali ini menggunakan jenis padi Rojolele yang jika dikonsersikan pada luas 1 hektare bisa menghasilkan 3,5 ton/ha”. Ujar Ir. Mulyono, MP menjelaskan pada awak media.

Padi apung menjadi salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk wilayah-wilayah rawan banjir atau rawa yang tergenang air. Apabila padi apung dikembangkan di lokasi lahan rawan banjir atau rawa, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani karena adanya peningkatan nilai ekonomi dari lahan tersebut.

“Inovasi ini sekaligus menjawab kebutuhan pangan warga di daerah rawa gambut di Kalimantan Timur atau daerah lain di Indonesia. Dengan pemanfaatan rawa untuk pengembangan pertanian tanpa merusak gambut yang bisa berakibat terhadap perubahan iklim.” Pungkas Mulyono.

Baca Juga

Antara Aku dan Yogyakarta: Mulai dari Kisah Cinta Hingga Cara Hidup yang Manusiawi

7 Wisata Tersembunyi di Yogyakarta yang Layak Dijadikan Tujuan Liburanmu Berikutnya

8 Kuliner Ekstrem yang Sayang Dilewatkan Saat Kamu Bertandang ke Yogyakarta


CLOSE
CLOSE