Bertandang ke kediaman Wiyanta (50) di Dusun Ngajeg, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan nampak beberapa kereta kuda klasik terpampang di teras rumah. Namun di antara kereta kuda yang merupakan buatan tangannya itu, terdapat satu kereta berwarna merah yang memiliki bentuk sedikit lain dari kereta buatannya.
Setelah diamati, ternyata kereta berwarna merah tersebut tidak memiliki penarik kuda seperti pada kereta kayu pada umumnya. Uniknya, meski dilengkapi dengan tempat duduk kayu dan roda kayu jati, kereta merah itu memiliki kemudi bundar seperti layaknya sebuah mobil. Namun dimanakah tenaga penggeraknya?
Seolah memahami keheranan Tribun Jogja, Wiyanta lantas membuka bagian belakang kereta. Setelah dibuka oleh pemiliknya, ternyata kereta tersebut memiliki sebuah mesin yang menjadi penggerak.
“Mesin ini dicomot dari sepeda motor roda tiga. Selain tidak terlalu memakan tempat dan berat yang lebih ringan dari mesin mobil, mesin ini punya tenaga yang besar serta bisa mundur,” ungkapnya dengan gaya bicara yang khas saat ditemui Rabu (4/2/2015).
Menurutnya, “mobil antik” ini merupakan pesanan dari seorang kolektor barang antik dari negeri Jiran, Malaysia. Mobil tersebut belum lama diselesaikannya, namun belum diambil oleh pemiliknya.
“Ini pesanan kedua. Sebelumnya, mobil antik yang pertama saya bikin pada 1993, tapi bentuknya sederhana,” katanya.
Wiyanta menjelaskan awal mula ide pembuatan kereta bertenaga mesin itu lantaran adanya pemesanan dadakan dari salah satu hotel di Yogyakarta. Merasa tertantang, ia kemudian berusaha membuat desain mobil antik dengan bermodal buku perkembangan transportasi klasik.
Setelah mendapatkan desain yang sesuai, ia kemudian membuat sendiri rangka mobil yang berasal dari kayu jati itu. “Pemesan hanya datang membawa mesin mobil. Desainnya terserah saya, asal pemesannya berkenan. Sulit memang, tapi ini tantangan,” paparnya.
Saat ditanya berapa harga satu unit mobil kayu klasik buatannya itu, Wiyanta hanya menyebutkan kurang dari Rp 300 juta. Menurutnya, pembuatan mobil klasik dari kayu merupakan pekerjaan seni yang tidak bisa diukur dengan nilai rupiah sebagai tolok ukur.
“Seperti halnya lukisan, tidak mungkin pelukis menjual lukisannya dengan menghitung cat yang dipakai atau bahan baku lainnya. Ini soal perasaan, harganya sudah ada kesepakatan nanti kalau sudah selesai dan siap pakai,” ujarnya.
via tribunjogja
Baca Juga
Antara Aku dan Yogyakarta: Mulai dari Kisah Cinta Hingga Cara Hidup yang Manusiawi
7 Wisata Tersembunyi di Yogyakarta yang Layak Dijadikan Tujuan Liburanmu Berikutnya
8 Kuliner Ekstrem yang Sayang Dilewatkan Saat Kamu Bertandang ke Yogyakarta